Senin, 08 Juni 2009

Bersandiwara Demi Kebaikan



Bersandiwara Demi Kebaikan
Bobo 6 Februari 1997, cerita Tajikistan

Seorang lelaki miskin bekerja membanting tulang tetapi penghasilannya tetapi penghasilannya tetap kecil. Maklumlah di desa yang juga miskin. Maka terpikir olehnya untuk mengadu nasib di kota. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga, kerabat, dan para tetangga, lelaki miskin itu meninggalkan rumahnya.
Perjalanan yang ditempuh amat panjang. Sampai di kota ia segera mencari pekerjaan. Pintu demi pintu rumah penduduk dimasukinya. Pekerjaan apa saja ia jalani, tak peduli betapa beratnya, dan itu dilakukan dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya.
Kebutuhan lelaki miskin itu tidak banyak. Oleh karena itu ia mampu menabung. Sisa belanja sehari-hari ia simpan dalam sebuah karung kecil. Setiap kali ia memasukkan uang ke dalam tabungan, ia membatin, ”Kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menengok keluargaku di desa.”
Selang beberapa tahun lelaki miskin itu sudah berhasil menyimpan uang seribu tanga. Bagi seorang macam dia, uang sejumlah itu sudah besar sekali. Maka ia mulai merasa khawatir akan keselamatan uang itu.
”Bagaimana jika saat aku pergi bekerja uang itu dicuri orang?” dia membatin. ”Tak mungkin pula aku membawa-bawa uang itu kemana-mana. Justru bisa dirampok orang di jalan. Kalau kukubur, siapa tahu ada orang yang memergokinya, dan diam-diam membongkarnya...”
Meskipun ia sudah memeras otak tetapi ia tak menemukan gagasan. Sampai ia teringat pada Hakim. “Uangku pasti akan aman disimpan di rumah Tuan Hakim,” batin lelaki miskin itu, “sebab bukankah beliau orang paling bijaksana, paling jujur, dan paling bisa dipercaya? Nanti kalau aku hendak pulang baru aku akan memintanya kembali.”
Maka lelaki miskin itu pergi menemui Hakim. Disampaikannya maksudnya menitip uang dirumah hakim. Hakim tidak keberatan. Diterimanya karung berisi uang seribu tanga, kemudian dimasukkannya kedalam sebuah peti besar dan kokoh.
”Dirumah ini uangmu akan aman, Kang,” kata hakim meyakinkan. ”Dan kau boleh mengambilnya kapan saja. Kau tak usah berpikir akan memberiku persen berapa. Lupakan, sebab sudah menjadi kewajiban seorang hakim melindungi dan mengayomi orang-orang miskin seperti Kakang.”
Beberapa waktu telah berlalu. Lelaki miskin itu berniat menengok keluarganya di desa. Dia mendatangi Hakim dan berkata, ”Tuan Hakim, hamba hendak mengambil kembali uang hamba, sebab besok hamba akan pulang kampung.”
Hakim memndang lelaki di hadapannya lama, lalu jawabnya, ”Uang apa sih, yang kau maksud?”
”Uang seribu tanga yang hamba titipkan kepada Paduka, Tuan Hakim.”
”Kau pasti linglung,” tukas Hakim. ”Kapan kau menitip uang padaku? Dan sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin lelaki miskin macam kau bisa memiliki uang sebanyak itu. Seribu tanga, itu bukan jumlah yang kecil.”
Lelaki miskin itu mencobamengingatkan Hakim saat dia menyerahkan uang dalam karung, serta apa yang mereka bicarakan. Tetapi Hakim tidak mau mendengar. Dia berteriak memanggil para punggawa, ”Lelaki ini tukang peras! Ringkus dia. Lemparkan ke jalanan.”
Para punggawa meringkus lelaki miskin, memukulinya, lalu mencammpakkannya ke jalanan. Lelaki miskin itu tergeletak di tanah. Air mata menetes membasahi pipinya. Terdengar suara erangnya yang memilukan, ”Segala jerih payahku lenyap sudah. Uangku amblas.” Ia mengulang-ulang dengan nada sedih. ”Tuan Hakim telah merampasnya dari tanganku...”
Seorang wanita yang kebetulan lewat mendengar ratap tangis ini. Ia menghampiri lelaki miskin itu dan bertanya, ”Apa yang telah terjadi, Kang? Kakang sudah dewasa, mengapa menangis meraung-raung seperti anak kecil?”
Lelaki miskin itu mengisahkan kejadiannya, lalu menambahkan, ”Kata orang, Hakim itu jujur dan bisa menjadi pengayom masyarakat. Tetapi kenapa kenyataannya lain?”
Wanita itu merasa kata-kata lelaki miskin itu bisa dipercaya. Maka ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menolongnya. Dia berpikir keras, mencari akal bagaimana membantu lelaki miskin memperoleh kembali hak miliknya. Nampaknya, sebentar kemudian, ia sudah memperoleh gagasan.
Wanita itu mengajak lelaki miskin ke rumahnya. Di sini wanita itu mengeluarkan sebuah kotak besar. Kepada anak lelakinya ia berkata, ”Aku akan pergi ke rumah Hakim bersama lelaki ini. Kau mengikuti dari belakang. Tetapi jaga jarak agar jangan diketahui orang. Bila kami sampai di rumah Hakim, kau sembunyi dan tunggu. Begitu kau melihat Hakim merentang tangan untuk menerima kotak ini, larilah masuk dan berserulah, ”Ayah sudah pulang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!”
Anak lelakinya mengangguk patuh.
Wanita itu menaruh kotak besar di atas kepala, dan dia bersama lelaki miskin itu melangkahkan kaki ke rumah Hakim. Anak lelaki si wanita mengiluti di belakang dalam jarak agak jauh.
Sampai di depan rumah Hakim, wanita itu berkata kepada lelaki miskin, ”Aku masuk lebih dulu, kau belakangan.”
Wanita itu melangkah memasuki rumah Hakim. Hakim memandangi kotak besar di atas kepalanya, dan bertanya, ”Apa maksud kedatangan kemari, Mak?”
Wanita itu menjawab, ”Barangkali Paduka pernah mendengar nama suami hamba, Tuan Hakim. Hamba adalah istrinya. Suami hamba bernama Rahim, saudagar kaya raya. Saat ini suami hamba sedang memimpin kafilah ke negeri yang jauh, dan hamba tidak tahu kapan akan kembali. Sudah beberapa malam hamba tidak bisa tidur. Banyak orang tak dikenal mengitari rumah setiap malam. Hamba yakin, mereka para penjahat, yang hendak merampok harta kekayaan hamba. Kotak ini berisi seluruh harta kekayaan hamba, termasuk perhiasan emas dan batu mulia. Oh, sungguh berat membawanya sampai kemari. Tapi bagaimanapun, harta karun ini harus disimpan di tempat aman, sampai suami hamba pulang...”
Belum usai kata-katanya, Hakim menukas, ”Jadi kau hendak menitip kotak hartamu di rumahku?”
”Benar, Tuan Hakim,” jawab wanita itu.
Hakim mencoba mengangkat kotak itu. Uh berat sekali. Dia mengira-ira isinya paling tidak 40 atau 50 ribu tanga, belum termasuk perhiasan emas dan batu manikam. Dan rasa-rasanya ia pernah mendengar nama Rahim, si saudagar kaya raya itu.
Hakim bersedia menyimpan kotak harta itu dirumahnya, dan berkata menambahkan, ”Bila kau kelak memintanya kembali, percayalah, tak akan ada satu tangapun yang akan berpindah ke tanganku. Kau boleh mengambilnya utuh-utuh.”
Tapi nampaknya wanita itu menjadi ragu-ragu. Dia mengambil kembali kotah harta itu dari tangan Hakim, dan bertanya, ”Tapi apakah ada jaminan bahwa perkataan Paduka bisa dipercaya?”
Ketika itulah tiba-tiba muncul di hadapan Hakim lelaki miskin. Hakim merasa amat senang, karena dengan begitu ia akan bisa membuktikan kejujurannya kepada istri saudagar itu. ”Aku akan menyerahkan kembali uang seribu tanga titipan lelaki miskin, sebagai gantinya aku akan memperoleh sekotak harta karun melimpah ruah. He, he!” batinnya.
Maka kepada lelaki miskin Hakim berkata, ”Hai, bukankah kau lelaki yang telah menitipkan uang seribu tanga kepadaku beberapa waktu lalu? Tadi pagi kau datang menagih, tapi aku lupa wajahmu, jadi kupikir kau orang jahat dan kutolak. Maaf, atas perlakuanku tadi, dan ini uang titipanmu, satu tangapun tidak ada yang kuambil.”
Solah-olah sudah merasa yakin, wanita itu mengulurkan kotak harta ke tangan Hakim. Hakim mengulurkan tangan untuk menerimnya. Tetapi tangannya belum sempat menyentuhnya ketika seorang anak lelaki berlari masuk, dan berteriak, ”Ibu, lekaslah pulang. Ayah telah datang, bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan. Beliau tak sabar menunggu di rumah.
Oh, jadi suamiku sudah pulang,” cetus wanita itu, dan menarik kembali kotak yang dipegangnya. ”Hamba tak perlu lagi menitipkan kotak harta ini di rumah Paduka, Tuan Hakim. Suami hamba sudah bisa menjaga sendiri miliknya.”
Wanita itu kembali menaruh kotak harta di kepala, dan bergegas meninggalkan rumah hakim, diikuti anak lelakinya dan lelaki miskin.
Kini tinggal hakim terlongong. Tak henti-hentinya ia merenungi nasib. Oh, seandainya kotak harta itu sudah berada di tangannya sebelum Rahim datang... Rasa kecewa Hakim berkepanjangan, sampai kemudia ia tidak bisa melakukan tugasnya, dan dicopot dari kedudukannya dengan tidak hormat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar