Jumat, 29 Mei 2009

Pangeran Fang dan Hantu Penasihat Fa Hsien



Pangeran Fang dan Hantu Penasihat Fa Hsien
Bobo 23 Januari 1997, diceritakan kembali oleh Tridaya

Seorang laki-laki muda tampak tergesa-gesa memasuki benteng. Ia langsung menghadap Pangeran Fang.
”Pangeran, Pangeran! Pasukan musuh sudah bersiap-siap untuk menyerang benteng Goliath ini,” ujar laki-laki berpakaian hitam ringkas itu dengan sangat gugup.
Pangeran Fang bingung setelah mendengar penjelasan laki-laki itu. Ia ternyata mata-mata Pangeran Fang. Pangeran segera memerintahkan seorang kurirnya untuk minta bantuan dari istana. Menurut perhitungannya, kekuatan mereka sangat tidak seimbang dengan musuh.
Dua minggu kemudian kurirnya kembali membawa berita menggembirakan. Kaisar berjanji akan segera mengirim bantuan yang akan membawa kemenangan.
Tiga hari setelah kembalinya kurir, bantuan yang dijanjikan datang.
Para penjaga pintu gerbang sempat tidak percaya karena yang datang adalah seorang laki-laki kurus, mengaku utusan kaisar. Hampir semua orang di benteng itu mencemoohkannya. Kecuali Pangeran Fang. Ia yakin kaisar akan menepati janjinya untuk mengirim bantuan yang akan memba kemenangan.
Setelah cukup istirahat, utusan tersebut dipersilakan menemui Pangeran Fang.
”Hormatku, Pangeran! Saya Fa Hsien, utusan kaisar untuk membantu benteng Goliath,” utusan itu memperkenalkan diri sambil menghormat Pangeran Fang.
”Di bidang apa kau akan membantu kami? Karena rupanya bantuannya bukan sejumlah tentara seperti yang kami kira sebelumnya,” balas Pangeran.
”Saya seorang ahli strategi perang,” kata Fa tenang. “Sekarang mari kita bahas rencana selanjutnya.”
Pangeran Fang mempersilakan tamunya masuk ke ruang kerja.
“Pangeran, menurut perkiraan saya, mereka memiliki sekitar sepuluh ribu pasukan berkuda, dan sepuluh ribu pasukan darat. Usul saya, perintahkanlah pasukan berkuda untuk memancing musuh datang ke lembah Ho, disamping sungai besar Yang Tse Kiang. Caranya, kita pura-pura hadang mereka, lalu melarikan diri. Pasukan berkuda akan kesulitan bergerak di lembah Ho, karena lembah itu dipenuhi rumput-rumput kering yang tinggi dan berduri.
Sementara itu, pasukan darat kita sebar di bukit-bukit yang mengelilingi lembah. Sesampainya musuh di lembah Ho, lepaskan sebagian kuda kita kesana, agar mereka mengira pasukan kita masih disana. Kemudian segera bakar lembah itu dengan panah api. Kebetulan sekarang sedang musimnya angin bertiup kencang. Itu akan sangat membantu kita mempercepat api menjalar.
Pasukan musuh yang lolos akan ditangkap pasukan darat di bukit-bukit. Sekalipun mereka lolos dari dua jebakan tadi, mereka masih harus menyeberangi sungai sebagai satu-satunya jalan keluar. Sebelumnya kita bendung dulu bagian sungai di hilir. Ketika mereka menyeberang, kita buka bendungan sehingga mereka akan terseret arus sungai.” Di ruang kerja, Fa Hsien menjelaskan dengan rinci seluruh rencananya.
”Ah, kau ini memang seorang yang cerdik, Fa. Pasukan musuh yang lolos dari api aan menjadi santapan panah atau arus sungai.” Pangeran Fang segera memuji dan menyetujui usul Fa.
Tak lama setelah semua persiapan selesai, datanglah pasukan Jendral Ciang menyerbu dengan kekuatan limapuluh ribu pasukan berkuda. Sesuai dengan rencana, pasukan musuh dipancing ke lembah Ho dan diporak-porandakan disana. Dalam pertempuran ini, Jendral Ciang kehilangan lebih dari separuh pasukannya.
Siang itu di markas Jendral Ciang, tampak ia sedang marah besar dan membentak-bentak para bawahannya.
”Bodoh kau! Memalukan saja. Bagaimana bisa limapuluh ribu pasukan berkuda Ciang, si penakluk Nguyen, dikalahkan tentara Fang keparat itu, yang hanya ada lima belas ribu prajurit.”
Bawahannya yang mimpin penyerbuan tampak sangat ketakutan. Berkali-kali ia meminta maaf dan menyembah-nyembah Jendral Ciang.
”Jendral, menurut saya, dalam beberapa hari ini kita harus hanya bertahan dan berusaha memulihkan segala kerugian akibat perang tempo hari,” Le Phiang, seorang penasihat Jendral mencoba mencari muka.
Tapi, Jendral Ciang segera membentak. ”Bodoh kau! Sekalipun kau bisa bertahan dalam beberapa hari, pasukan itu pasti akan segera datang mengepung kita dan memblokade jalur makanan kita.”
”Justru itu Jendral, sya usulkan pasukan dibagi dua. Jika salah satu diserang, yang lain segera membantu. Dengan begitu pasukan musuh tidak dapat mengepung kita karena terlalu luas. Kalaupun mereka nekat, kita akan dengan mudah menang, karena musuh tersebar kemana-mana danmenjadi lemah. Lagipula hanya ada satu panglima yang handal disana, si Fang itu sendiri.” Le masih terus saja mencari muka Jendral. Kali ini usahanya berhasil.
”Hmm..., cerdik kau. Baik, mulai sekarang kau orang kedua yang berwenang di markas besar ini, setelah aku,” sambut sang Jendral dengan suka cita. ”Tapi ingat, kalau gagal rencanamu, kutebas lehermu,” lanjutnya dingin.
”Baik Jendral, saya sanggup. Terima kasih!” Le Phiang sangat senang karena berhasil mendapat kepercayaan dari atasannya. Ia sangat membutuhkan itu, karena masih baru dalam jajaran panglima-panglima perang Jendral Ciang.
Di saat yang sama, di Benteng Goliath pun terjadi percakapan tentang rencana penyerangan.
”Baik Fa, sekarang apa rencanamu selanjutnya,” suara Pangeran Fang memecah keheningan ruang kerja ketika mereka sudah masuk kedalamnya.e
”Menurut saya, mereka akan memecah pasukannya menjadi dua titik pusat, yaitu benteng markas besar (mabes) dan benteng phialaw di selatan. Mereka berpendapat hal itu akan membuat kita tidak mampu untuk mengepung dan memblokade jalan makanan mereka. Dan mereka benar,” Fa Hsien berhenti sejenak dan mempertimbangkan kembali rencananya.
”Lalu apa rencana kita selanjutnya, Fa?” Pangeran tidak sabar menunggu.
”Saya mempunyai rencana besar, Pangeran. Tetapi kalau gagal akan menghancurkan kita semua. Pertama, kita bagi pasukan menjadi dua pasukan kecil dan satu buah pasukan besar. Pasukan kecil pertama bertugas untuk pura-pura menyerang benteng Phia Law yang lebih lebar dari benteng Mabes. Begitu mendengar berita penyerangan, pasti Mabes akan langsung memberikan bantuan.
Lalu, begitu pasukan di Mabes sedikit dan lemah, itu tugas pasukan kecil kedua untuk mengalahkannya dengan pasukan panah api. Bukankah banyak bagian dari Mabes yang terbuat dari kayu. Setelah bantuan datang, pasukan kecil pertama segera melarikan diri ke daerah Lembah Huang dan segera bersembunyi. Di bukit-bukit sekitar lembah kita sebarkan pasukan panah, dan ketika mereka datang akan menjadi santapan lezat panah pasukan kita dari atas.” Sekali lagi Pangeran Fang menyambut baik usul Fa.
Di saat yang tepat, berbondong-bondonglah pasukan besar di bawah Pangeran Fang menyerbu, dan benarlah semua perhitungan Fa.
Sewaktu pangeran Fang memasuki benteng Mabes, di depan pintu gerbang tergeletak mayat Jendral Ciang yang memilih bunuh diri daripada takluk kepasa Pangeran Fang.
Sebulan setelah kemenangan, datanglah beratus-ratus ribu prajurit istana yang langsung dibawah komando kaisar.
Kaisar tampak heran ketika mendengar bahea Jendral Ciang telah kalah dan lebih terkejut lagi ketika dikatakan itu semua berkat Fa Hsien, utusannya.
”Fa Hsien? Bagaimana kau bisa kenal dia? Tak mungkin ia pernah ke sini, karena ia telah meninggal sepuluh bulan yang lalu.
”Tapi, bukankah kaisar sendiri yang mengutusnya? Dan menjanjikan bantuan kepada kami?” sanggah Pangeran Fang.
”Tidak, aku tidak mengutusnya. Bagaimana mungkin? Bukankah ia telah meninggal. Dan mengenai janji bantuanku, pasukan besar inilah maksudku.” Semua yang hadir di ruangan itu diam terhenyak, dengan pikiran mereka masing-masing memenuhi otak.

Minggu, 24 Mei 2009

Penyesalan si Pemalas


Penyesalan si Pemalas

Dongeng dari negeri Hindustan (diceritakan kembali oleh Henny P.S)

Vijay adalah seorang anak pemalas. Ia tinggal bersama ayah tiri dan ibu kandungnya di rumah yang mungil. Untuk menghidupi keluarga, ayah tiri Vijay bekerja sebagai buruh tani ditanah pertanian yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Ayahnya ini bukanlah seorang yang bersifat galak atau keras. Meskipun cuma ayah tiri, ia adalah seorang ayah yang baik. Ia sangat sayang kepasa Vijay. Tetapi Vijay merasa bahwa seorang ayah tiri itu pastilah jahat, tidak pernah sayang kepada anak tirinya. Itu yang ia dengar dari cerita orang-orang. Jika ayah menunjukkan rasa sayang padanya, pasti itu hanya pura-pura, pikirnya.

Suatu hari Vijay diminta ayahnya untuk mencari kayu bakar di hutan. Persediaan kayu bakar dirumah mereka hampir habis. Biasanya memang ayahnya yang selalu melakukan pekerjaan itu, tetapi kali ini ayahnya merasa sangat lelah setelah bekerja cukup lama di tanah pertanian.

Vijay merasa kesal dengan suruhan itu. Ia ingin bebas main kapanpun ia mau. Tidak harus terikat dengan suruhan-suruhan macam begini. Ini pasti karena ayah tak menyukaiku, gumam Vijay dalam hati. Dengan perasaan malas yang amat sangat, Vijay menjauh dari rumahnya untuk bermain di desa sebelah. Ia ingin bebas dari suruhan orang tuanya tadi.

Ayah dan ibunya bingung mencarinya. Mereka berdualah yang akhirnya mencari kayu bakar sambil berusaha pula mencari Vijay. Setelah matahari terbenam, mereka pulang kembali ke rumah dan berharap Vijay sudah ada di rumah. Namun ternyata harapan mereka tak terkabul. Mereka cemas. Tapi tak berapa lama barulah Vijay pulang. Kedua orang tua Vijay tak henti-hentinya bertanya, kemana saja Vijay siang tadi. Vijay cuma bilang, “Main,” kemudian langsung masuk kamar karena kesal dengan pertanyaan-pertanyaan ayah dan ibunya. Ia tidak tahu bahwa ayah dan ibunya sangat mencemaskannya. Di dalam kamar, ditutupnya telinganya kuat-kuat karena tidak mau mendengar nasihat-nasihat ayah dan ibunya.

Keesokan harinya, karena benar-benar malas, ia bangun tidur kesiangan sekali. Sebenarnya ia memang sengaja tidak bangun pagi. Sebab pada pagi hari ibunya sering menyuruhnya membawakan makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah, karena ayahnya tak sempat makan pagi. Kemalasannya makin menjadi-jadi pada saat ibunya memintanya untuk membantu memerah susu sapi, Vijay menolak.

Karena anaknya tidak menurut, ibu amat marah. Vijay kesal jadinya. Tidak biasanya ibunya memarahinya sampai seperti itu. Ia merasa ibunya telah dipengaruhi ayahnya untuk membenci dirinya. Diam-diam, untuk menghindari suruhan orang tuanya, ia mengatur siasat. Pada siang hari ia bersembunyi di sebuah lubang di belakang rumahnya.

”Dengan begini aku bisa bebas dari pekerjaan-pekerjaan yang dilimpahkan kepadaku,” tukasnya dengan wajah yang berseri-seri karena mendapat ide seperti itu.

Setelah makan siang, Vijay mulai melaksanakan rencananya. Ia masuk ke dalam lubang yang dalamnya hampir sama dengan tingi tubuhnya. Agar tak terlihat, ia menimbuni dirinya dengan sampah-sampah. Pada malam harinya, ketika ia merasa lapar, ia keluar dari lubang persembunyiannya itu untuk makan. Ayah dan ibu terus menerus menasihatinya agar tidak bermain jauh-jauh. Ya, memang begitulah dugaan ayah dan ibu Vijay. Mereka tidak tahu kalau Vijay selalu bersembunyi di lubang belakang rumah.

Kelakuan Vijay yang aneh itu berulang dan berulang kembali.

Hingga suatu saat, ketika Vijay sedang bersembunyi di lubang seperti biasa, dari kedua tangannya tumbuh bulu-bulu yang hitam mengkilat. Ia sangat kaget. Ia ingin segera membersihkan sampah yang ditimbunnya diatas lubang. Tetapi, kemudian ia merasa kakinya sudah menekuk, tidak lurus lagi, dan ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Perlahan-lahan keluar sesuatu yang panjang dari bawah punggungnya. Waaah, ekor! Ia kini punya ekor! Vijay ngeri sendiri. Ternyata karena begitu lama dan seringnya ia bersembunyi di dalam tanah dan ditimbuni sampah, sekujur tubuhnya ditimbuni bulu. Rupanya dewa telah mengutuknya menjadi tikus karena kemalasannya. Ia tidak berani keluar dari lubang itu, karena merasa malu.

Ayah dan ibu Vijay bingung karena lama tak melihat Vijay. Mereka mencarinya kesana kemari. Vijay malu sekali dan hanya berani keluar pada malam hari. Setiap malam ia selalu menyaksikan ayah ibunya terus meneruskan mengkhawatirkannya. Vijay baru sadar bahwa mereka itu sangat sayang kepadanya. Namun menyesal kemudian memang tiada berguna, sebab orang tuanya sudah tidak mengenalinya lagi. Jadilah Vijay hidup mengembara kesana kemari.

Setiap hari, sebelum malam tiba, ia selalu bersembunyi dengan membuat lubang di bawah tanah. Hal itu dilakukannya karena takut ditertawakan orang arena tubuhnya sudah berubah menjadi makhluk yang menjijikan. Jika hari sudah gelap barulah ia keluar mencari makan.

Itulah sebabnya sampai kini, tikus-tikus hanya berkeliaran ada malam hari. Sedang pada siang hari mereka bersembunyi di sarang-sarang mereka di bawah tanah.

Kamis, 21 Mei 2009

Dua Putra Saudagar

Dua Putra Saudagar

Bobo 16 Januari 1997, oleh L. Heni S.

Seorang saudagar kaya raya memiliki sepasang putra kembar. Pada suatu hari, saudagar itu bermaksud membuka usaha ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai sebesar sekarang, dua putra kembarnya belum pernah meninggalkan rumah. Saudagar tersebut merasa bersalah bila hanya menunjuk salah satu putranya untuk ke sana. Pasti yang diutus akan merasa dinomorduakan, karena harus merintis usaha dari bawah. Namun iapun tak mungkin mengirim keduanya. Ia sudah tua. Putra yang seorang harus tetap tinggal untuk menggantikannya.

Suatu sore, saudagar memanggil putranya satu persatu. Ketika ditanya apakah mereka bersedia pergi ke tempat yang jauh, keduanya menyatakan kesediaannya.

"Benar-benar menarik, Ayah! Aku suka jika diberi kesempatan itu!" komentar putra yang lahir lebih dulu.

”Aku suka tantangan! Aku gembira menerimanya!” kata putra yang lahir belakangan.

Sekali lagi saudagar merasa tidak enak. Jika semula ia meragukan kesanggupan putra-putranya, sekarang ia kebingungan menentukan pilihannya. Dua-duanya berminat. Rasanya tidak adil bila ia menunjuk salah satu begitu saja.

Selama beberapa hari saudagar sukar tidur dan kehilangan selera makan. Akhirnya ia jatuh sakit. Putra-putranya mengetahui penyebab kegundahan ayah mereka. Masing-masing bersedia mengalah untuk saudaranya. Ini tidak membuat saudagar semakin baik kesehatannya. Masalah belum terpecahkan, dan saudagar masih terbaring lemah.

Beberapa hari kemudian, saudagar mendengar dari seorang pelayan, bahwa dibatas kota tinggal seorang bijak. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Setelah saudagar selesai berkata, orang bijak itu masih diam beberapa saat dengan kening berkerut. Sesudah kerut-kerut menghilang, ia berkata dengan lemah lembut, ”Anda harus sembuh dari sakit. Saya akan menyarankan sesuatu. Kalau bisa diterima, cobalah. Jika tidak, maafkan saya. Hanya ini yang dapat saya sarankan.”

Orang bijak tersebut segera menyampaikan sarannya.

Wajah saudagar yang semula pucat jadi agak berseri mendengar saran itu.

Tiga hari kemudian, saudagar sehat kembali. Tanpa membuang waktu, ia memanggil dua putranya.

“Anak-anaku, Ayah tidak bisa memilik salah seorang dari kalian untuk berusaha ditempat yang baru. Biarlah nasib dan keberuntungan yang membawa kalian kesana. Ayah akan menyediakan dua macam bekal untuk perjalanan kalian. Pilihlah salah satu. Roti, atau beras dan ikan asin,” katanya.

Putra sulung, yang tidak suka berpayah-payah, memilih membawa roti. Sementara itu, putra bungsu memilih beras dan ikan asin.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar kedua putra saudagar meninggalkan rumah. Putra sulung menyandang sebuah tas, penuh dengan roti. Bawaan putra bungsu tak seringkas itu. Ia menyandang tas berisi beras dan ikan asin, sementara kedua tangannya menenteng kompor dan peralatan masak.

Melihat bawaan adiknya, putra sulung tertawa geli. ”Sungguh keliru bekal yang kau pilih. Lihatlah aku. Aku bisa melenggang karena tanganku tak berbeban.”

Putra bungsu diam saja. Ia tak menanggapi perkataan kakaknya.

Tiap kali waktu makan tiba, putra sulung tinggal mengeluarkan roti dari tas, dan memakannya dengan lahap. Tidak demikian dengan putra bungsu. Ia mesti menanak nasii dan menggoreng ikan asin dulu. Pekerjaan sia-sia dan memboroskan tenaga di mata putra sulung.

Dua hari berlalu, persoalanpun muncul. Ketika hendak sarapan, putra sulung mendapatkan rotinya berjamur. Dengan tak sabar ia mengeluarkan roti satu persatu dari tas. Semuanya berjamur. Tak satupun yang masih baik.

Dua putra saudagar tak tahu, masih berapa lama lagi untuk sampai di kota tujuan. Tanpa bekal sama sekali, putra sulung tak bisa melanjutkan perjalanan. Ia memutuskan mencari tumpangan untuk pulang.

Bagaimana dengan putra bungsu? Tak ada masalah baginya. Ia tak asal pilih saat ayah mereka memberikan pilihan. Mereka belum pernah kesana. Namun yang ia tahu pasti, tempatnya jauh. Dengan begitu bisa dipastikan mereka akan lama diperjalanan. Bekal roti memang praktis, tapi tidak awet. Sementara beras dan ikan asin, walau harus diolah dulu, adalah bekal yang tahan lama.

Begitulah dengan beras dan ikan asin, putra bungsu sampai tujuan. Bertahun-tahun kemudia, usaha yang dirintisnya berkembang pesat, tak kalah hebat dengan usaha sang ayah yang kini dikelola kakaknya.