Kamis, 21 Mei 2009

Dua Putra Saudagar

Dua Putra Saudagar

Bobo 16 Januari 1997, oleh L. Heni S.

Seorang saudagar kaya raya memiliki sepasang putra kembar. Pada suatu hari, saudagar itu bermaksud membuka usaha ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai sebesar sekarang, dua putra kembarnya belum pernah meninggalkan rumah. Saudagar tersebut merasa bersalah bila hanya menunjuk salah satu putranya untuk ke sana. Pasti yang diutus akan merasa dinomorduakan, karena harus merintis usaha dari bawah. Namun iapun tak mungkin mengirim keduanya. Ia sudah tua. Putra yang seorang harus tetap tinggal untuk menggantikannya.

Suatu sore, saudagar memanggil putranya satu persatu. Ketika ditanya apakah mereka bersedia pergi ke tempat yang jauh, keduanya menyatakan kesediaannya.

"Benar-benar menarik, Ayah! Aku suka jika diberi kesempatan itu!" komentar putra yang lahir lebih dulu.

”Aku suka tantangan! Aku gembira menerimanya!” kata putra yang lahir belakangan.

Sekali lagi saudagar merasa tidak enak. Jika semula ia meragukan kesanggupan putra-putranya, sekarang ia kebingungan menentukan pilihannya. Dua-duanya berminat. Rasanya tidak adil bila ia menunjuk salah satu begitu saja.

Selama beberapa hari saudagar sukar tidur dan kehilangan selera makan. Akhirnya ia jatuh sakit. Putra-putranya mengetahui penyebab kegundahan ayah mereka. Masing-masing bersedia mengalah untuk saudaranya. Ini tidak membuat saudagar semakin baik kesehatannya. Masalah belum terpecahkan, dan saudagar masih terbaring lemah.

Beberapa hari kemudian, saudagar mendengar dari seorang pelayan, bahwa dibatas kota tinggal seorang bijak. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Setelah saudagar selesai berkata, orang bijak itu masih diam beberapa saat dengan kening berkerut. Sesudah kerut-kerut menghilang, ia berkata dengan lemah lembut, ”Anda harus sembuh dari sakit. Saya akan menyarankan sesuatu. Kalau bisa diterima, cobalah. Jika tidak, maafkan saya. Hanya ini yang dapat saya sarankan.”

Orang bijak tersebut segera menyampaikan sarannya.

Wajah saudagar yang semula pucat jadi agak berseri mendengar saran itu.

Tiga hari kemudian, saudagar sehat kembali. Tanpa membuang waktu, ia memanggil dua putranya.

“Anak-anaku, Ayah tidak bisa memilik salah seorang dari kalian untuk berusaha ditempat yang baru. Biarlah nasib dan keberuntungan yang membawa kalian kesana. Ayah akan menyediakan dua macam bekal untuk perjalanan kalian. Pilihlah salah satu. Roti, atau beras dan ikan asin,” katanya.

Putra sulung, yang tidak suka berpayah-payah, memilih membawa roti. Sementara itu, putra bungsu memilih beras dan ikan asin.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar kedua putra saudagar meninggalkan rumah. Putra sulung menyandang sebuah tas, penuh dengan roti. Bawaan putra bungsu tak seringkas itu. Ia menyandang tas berisi beras dan ikan asin, sementara kedua tangannya menenteng kompor dan peralatan masak.

Melihat bawaan adiknya, putra sulung tertawa geli. ”Sungguh keliru bekal yang kau pilih. Lihatlah aku. Aku bisa melenggang karena tanganku tak berbeban.”

Putra bungsu diam saja. Ia tak menanggapi perkataan kakaknya.

Tiap kali waktu makan tiba, putra sulung tinggal mengeluarkan roti dari tas, dan memakannya dengan lahap. Tidak demikian dengan putra bungsu. Ia mesti menanak nasii dan menggoreng ikan asin dulu. Pekerjaan sia-sia dan memboroskan tenaga di mata putra sulung.

Dua hari berlalu, persoalanpun muncul. Ketika hendak sarapan, putra sulung mendapatkan rotinya berjamur. Dengan tak sabar ia mengeluarkan roti satu persatu dari tas. Semuanya berjamur. Tak satupun yang masih baik.

Dua putra saudagar tak tahu, masih berapa lama lagi untuk sampai di kota tujuan. Tanpa bekal sama sekali, putra sulung tak bisa melanjutkan perjalanan. Ia memutuskan mencari tumpangan untuk pulang.

Bagaimana dengan putra bungsu? Tak ada masalah baginya. Ia tak asal pilih saat ayah mereka memberikan pilihan. Mereka belum pernah kesana. Namun yang ia tahu pasti, tempatnya jauh. Dengan begitu bisa dipastikan mereka akan lama diperjalanan. Bekal roti memang praktis, tapi tidak awet. Sementara beras dan ikan asin, walau harus diolah dulu, adalah bekal yang tahan lama.

Begitulah dengan beras dan ikan asin, putra bungsu sampai tujuan. Bertahun-tahun kemudia, usaha yang dirintisnya berkembang pesat, tak kalah hebat dengan usaha sang ayah yang kini dikelola kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar