Rabu, 22 Juli 2009

Monster Idaman Pangeran Fanshaw




Pangeran Fanshaw putera semata wayang pasangan Raja Bruno dan Ratu Matilda, penguasa Kerajaan Mordinia. Kehidupan keluarga mereka sebelumnya harmonis, kalau saja sang Pangeran mau berumah tangga.
Baginda telah mengadakan ratusan kali pesta dansa, konser-konser, dan pesta muda-mudi untuknya. Namun sang Pangeran tidak pernah mengajak seorang gadis untuk diajaknya melantai.
“Membosankan,” keluh sang Pangeran. “Tidak ada yang menarik minatku. Lalu mengapa aku harus menikahi salah satu dari mereka?”
“Tetapi seorang Pangeran harus memiliki istri,” kilah Raja Bruno. ”Ini sudah menjadi tradisi kerajaan.” Maka, seperti kebiasaan kuno, Baginda merencanakan agar anak lelakinya menyelamatkan putri sebanyak-banyaknya, dengan harapan, seorang di antaranya akan singgah di hatinya. Pertama kali, Pangeran Fanshaw menelamatkan Putri Maribel Mont Percy dari cengkeraman seekor kodok raksasa. “Membosankan!” desis Pangeran Fanshaw mengomentari sang Putri. Lalu dia membebaskan lady Eleanor De Sax dari seekor naga. “Betapa angkuhnya!” dia memekik setelah tahu sifat asli sang Lady.
Akhirnya, setelah selesai menyelamatkan Lady Gilian Hope-Jones dari satu makhluk laut yang amat busuk baunya, Pangeran Fanshaw berniat pergi mengembara. Dia sudah muak menjadi seorang jagoan. Justru sebaliknya, ia ingin semua orang tak peduli terhadapnya. Kemana saja ia pergi, para penduduk setempat akan mengelu-elukannya. Mereka akan berseru, “Lihat, itu Pangeran Fanshaw si pemberani!” atau “Panjang umur si pembantai monster dari Mordinia!”
Pangeran Fanshaw menuruni jalan setapak kesukaannya menuruni tebing ke laut. Hari itu indah sekali. Permukaan laut berkilauan bagaikan lembaran kertas perak, dan langit biru cerah. Tiba-tiba, tanpa suatu sebab yang jelas, cuaca berubah. Lautan bergelora dan berbuih-buih seperti air rebusan sayur. Langit menjadi hitam kelam.
Hujanpun kemudian turun amat deras. Pangeran Fanshaw melihat ke sekeliling, tampak sebuah gua pada batu karang. Aneh, selama ini ia tidak pernah memperhatikan tempat itu. Berlarilah sang Pangeran menuju ke mulut gua. Di pintu masuk terdapat sebuah tanda peringatan yang berbunyi:
“Harap ketuk, para pedagang dilarang masuk. Bersihkan dulu kaki.” Maka Pangeran Fanshaw mengetuk sisi dinding gua. ”Siapa itu?” sapa sebuah suara lembut. Nadanya sedih.
”Aku Pangeran Fanshaw, di luar hujan deras. Boleh aku masuk?” tanya Sang Pangeran. ”Oh! Jadi anda si pembantai monster?” suara itu balik bertanya. ”Benar,” jawab sang Pangeran rikuh.
”Kalau begitu anda tak boleh masuk, sebab aku adalah monster!”
”Apakah kau pemaksa gadis-gadis cantik?” makhluk di dalam tergagap. ”Ti-ti-dak! Ia memekik takut. ”Per-lu kujelaskan, du-lu aku se-orang gadis can-tik!”
”Aku tak akan melukaimu, tapi aku sama sekali tak paham. Apa sih maksudnya, dulu kau seorang gadis cantik?”
Suara mahkluk di dalam kembali menjadi lembut. “Sebaiknya Anda masuk, dan dengarkan cerita saya.” Maka sang Pangeran berjalan memasuki gua. Suara kecil yang sama bicara lagi dari kegelapan.
”dulu aku seorang Putri. Namaku Puteri Floella, aku tinggal di sebuah kastil putih yang indah, dihiasi air mancur dan burung-burung merak. Tetapi aku memiliki sifat-sifat buruk, manja, dan sombong. Makanan yang kusukai cuma coklat kental, dan aku hanya mau mengenakan gaun dari sutera dan bermanik mutiara. Aku kasar , terhadap semua orang, terutama kepada ibuku dan ayahku. Aku bahkan suka melempari pangeran yang datang melamarku dengan makanan. Lalu aku membuat sebuah kesalahan besar. Pada ulang tahunku yang keenam belas, aku bermaksud melempar pie kismis hitam ke Pangeran Dirtimand, yang menaruh hati padaku, tetapi salah sasaran, mengenai tukang sihir istana. Dia naik pitam, lalu mengubahkumenjadi satu sosok monster. Aku pun dikucilkan. Kini aku merasa menyesal atas semua perbuatan yang telah aku lakukan,” si monster sesenggukan. ”Aku sekarang tidak lagi manja.”
Pangeran Fanshaw mendengarkan cerita itu dengan hening. ”Apakah tidak ada cara menyembuhkanmu?” tanyanya.
”Aku akan berubah kembali ke ujud semula jika ada seorang pangeran menaruh hati padaku, dan bersedia menikahiku,” jawab si monster. ”Tapi mana ada pangeran menikahi seekor kadal?” Sambil berkata begitu makhluk itu melangkah keluar dari kegelapan. Dia benar-benar seekor kadal, bersisik coklat-kehijauan, licin, mengenakan gaun pesta sutera putih yang sudah rombeng, dan menyandang mahkota emas kecil. Pangeran fanshaw tersenyum-senyum melihatnya.
”Floella, kau adalh seekor kadal yang istimewa,” cetusnya. Puteri Floella membalas senyumnya, memperlihatkan deretan giginya yang berujung runcing. Begitu istimewa hingga aku ingin menikahimu,” lanjut sang Pangeran. Maka dia lalu menggandengnya dan mengajaknya pulang ke istana.
Pangeran Fanshaw memperkenalkan calon istrinya kepada ayahnya. Katanya, ”ayah, ini Puteri Floella. Aku ingin memperistrinya.”
Jawaban Raja Bruno sudah bisa diduga, ”Anakku sayang, tak mungkin kau menikah dengan seekor kadal!” Mendengar jawaban ini, si Kadal pingsan. Terjadi kegaduhan di istana. Para pengacara Kerajaan dipanggil. Namun, mereka tidak menemukan pasal-pasal yang melanggar hukum, bilamana seorang Pangeran menikahi seekor kadal.
Tak seorangpun percaya Floella jelmaan seorang Puteri. Para dayang menjauhi monster itu.
Floella mencintai Pangeran fanshaw dengan segenap hatinya. Dia merasa amat sedih, mengingat orang yang dicintainya. Mengapa dia memiliki tampang monster menakutkan macam ini? Waktu masih menjadi seorang Puteri, Floella tidak pernah mempunyai rasa semacam ini, merasa kasihan terhadap seseorang. Bagaimana jika kelak ia tidak bisa berubah kembali menjadi seorang Puteri, setelah pesta pernikahan? Bisa dibayangkan, betapa tersiksanya sang Pangeran, seandainya ia menikahi seekor kadal seumur hidupnya!
Hati Floella gundah, bukan memikirkan dirinya, tetapi justru nasib Pangeran Fanshaw. Maka pada malam menjelang pernikahan, ia mengemas sebuah koper kecil, dan berniat meninggalkan kastil. Pada saat ia melintasi air mancur kastil dia menitikkan dua air mata. Dua butir berlian nampak meluncur menuruni kulitnya yang licin dan bersisik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya bergetar dan... pletak! Terdengar suara retakan seperti gelas pecah. Kemudian ia mendengar suara Pangeran Fanshaw.
”Floella, hendak kemana kau?” pekiknya.
”Aku tak bisa menikah denganmu,” dia mendesah. ”Karena besarnya rasa cintaku, aku tak tega kau memiliki isteri seekor kadal,” Floella menunduk. Pandangannya tertuju ke tanah. Apa yang dilihatnya? Nampak sebuah kulit kadal teronggok di depan kakinya. Itulah kulit tubuhnya!
Fanshaw, yang melihat sendiri perubahan ini, mencetus, ”Floella pandangilah dirimu di atas permukaan air kolam. Oh betapa cantik wajahmu.
Puteri Floella berkaca. Pada permukaan air nampak sesosok tubuh yang selama ini tersembunyi di balik kulit kadalnya. Dipandangi wajahnya dan sekujur tubuhnya. Nampak sesosok gadis cantik jelita dengan rambutnya yang ikal.
Pesta pernikahan Pangeran Fanshaw dan Puteri Floella berlangsung amat meriah. Kastil dan katedral dihias dengan karangan bunga mawar dan kerang-kerang laut yang indah. Floella dan Fanshaw merasakan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Kelahiran dua anak mereka, laki-laki dan perempuan, menambah kebahagiaan mereka!

Senin, 13 Juli 2009

Apel Ajaib


Apel Ajaib

Hans adalah seorang pemuda yang jujur dan baik hati. Sejak kecil hidupnya hanya sebatang kara. Pekerjaannya mencari kayu dan berburu di hutan. Hans sangat senang membaca. Orang-orang desa menganggapnya bodoh karena menghabiskan uangnya untuk membeli buku.
“Untuk apa belajar? Lebih baik uang itu digunakan untuk membeli baju atau memperbaiki rumah,” kata mereka. Tetapi Hans tidak peduli, ia tetap belajar dengan rajin. Dia menganggap ilmunya itu pasti akan berguna suatu saat nanti.
Suatu pagi Hans pergi ke hutan untuk berburu, tetapi ia terlalu asyik mengejar seekor rusa sehingga tidak sadar kalau telah jauh masuk hutan. Hans pun tersesat. Ia duduk di bawah sebatangbuah pohon besar karena kecapekan, dan juga merasa haus dan sangat lapar. Padahal kantong bekalnya sudah kosong.
Hans memandang sekeliling mencari sesuatu yang bisa dimakan. Tapi sia-sia. Tak ada pohon buah-buahan di dekat situ. Hanspun memejamkan mata, sebaiknya aku istirahat saja dulu, pikirnya.
Pluk! Sesuatu jatuh dekat kakinya. Hans membuka mata, sebuah apel merah segar tergeletak disana. Oh, ohtang... ternyata ia beristirahat dibawah sebatang pohon apel. Buahnya lebat dan besar-besar.
Hans meraih apel itu dan memakannya dengan suka cita, rasanya enak sekali. Terutama karena memang ia sangat lapar.
“Hei! Apa-apaan kau ini!?” hans terkejut, seorang kakek kecil muncul tiba-tiba. Entah darimana datangnya, wajahnya terlihat garang.
“Enak saja kau memakan apel itu! Tak tahukah kau kalau iu milik kami, para kurcaci?!” Pak Kurcaci marah-marah. ”Oh, maafkanlah saya, Kek. Saya sungguh tidak tahu. Saya kira apel ini tak ada pemiliknya,” kata Hans. Pak Kurcaci mendengus, ia sudah sering mendengar alasan seperti itu. Diletakkannya karung yang dibawanya. Dia tak mempedulikan Hans lagi.
”Maafkanlah saya, Kek. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Hans menyesal sekali, ini kali pertama ia dikasari. Rasanya tidak enak. ”Kakek mau memetik apel-apel itu ya? Bagaimana kalau saya membantu Kakek? Sebagai ganti apel yang kumakan tadi.”
”Sungguh?” wajah Pak Kurcaci berseri. ”Kamu mau memanjat pohon ini untukku?”
”Tentu saja!’ dengan cekatan hans memanjat pohon apel itu dan memetik buahnya. Sementara di bawah pohon Pak Kurcaci mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung. Hans bekerja dengan penuh semangat, sedikitpun ia tak mengeluh. Ia naik sampai ke ranting yang paling atas, tak peduli bagaimanapun susahnya. Hans baru turun setelah seluruh apel yang ada di pohon itu habis.
Pak Kurcaci sangat puas, berkat bantuan Hans ia dan kurcaci-kurcaci lain tak perlu memetik apel selama seminggu ini. ”Karung-karung ini berat sekali, Kek,” kata Hans. ”Bagaimana kalau saya bantu membawakannya ke rumah kakek?”
”Oh, tak perlu,” jawab Pak Kurcaci. Saya bisa memanggil teman-teman lain untuk membawanya, lagipula kami tak ingin ada manusia yang mengetahui tempat tinggal kami.” Hans mengangguk. ”Kamu tentu lelah sekali. Ambilah beberapa buah apel ini untukmu.” Hanspun mengambil sebuah apel yang paling kecil.
Pak Kurcaci terbelalak. ”Masa cuma satu? Ambilah lagi.” Tapi Hans menggeleng, satu saja sudah cukup baginya. Ia senang karena dapat menolong kakek Kurcaci, terutama karena telah membuat sang kakek marah-marah.
Pak Kurcaci tertawa, ia sangat terkesan dengan kebaikan Hans. ”Kamu seorang pemuda yang baik,” pujinya. ”Terima kasih banyak!”
Keduanya pun berpisah. Dan atas petunjuk Kakek Kurcaci, Hansdapat menemukan jalan pulang. Hari sudah gelap ketika Hans tiba di rumahnya, ia sangat lelah dan lapar.
Hans ingat kalau ia memiliki sebuah apel, dan mengeluarkan apel itu dari kantong bekalnya. Dan ......oh, ia kaget sekali. Apel itu berkilat di bawah sinar lentera, warnanya kuning emas. Apel itu telah berubah menjadi apel emas. Ituah hadiah kakek Kurcaci atas kebaikan Hans.
”Alangkah indahnya,” gumam Hans mengagumi apel itu. “Apel seindah ini hanya pantas dimiliki oleh Baginda Raja.” Lalu Hans memutuskan untuk menghadiahkan apel emas itu kepada raja. Pagi-pagi sekali Hans berangkat ke istana untuk menghadap Raja.
”Oh, indahnya!” seru Raja menerima apel emas itu. “Darimana kau memperolehnya?”
Hanspun menceritakan pengalamannya tu kepada raja. Dan selagi ia bercerita, raja teringat akan ramalan ketika Puteri Nadya lahir dua puluh tahun yang lalu. Suatu hari akan datang seorang pemuda yang mempersembahkan apel emas kepada raja. Pemuda itulah jodoh sang Puteri. Begitu bunyi ramalan itu.
Baginda Raja mengamati Hans. Jadi inilah pemuda itu, pikir Raja. Raja sama sekali tak menyangka kalau pemuda yang diramalkan itu hanyalah pemuda desa biasa. Mulanya raja mengira, seorang pemuda yang samnggup mempersembahkan apel emas tentulah seorang bangsawan atau pangeran.
”Dia sama sekali tidak pantas untuk Tuan Puteri,” kata Perdana Menteri. ”Suatu hari kelak Baginda akan mangkat dan digantikan oleh suami Tuan Puteri. Pengganti Baginda haruslah orang yang cerdas dan berpendidikan.”
”Kita perlu menguji kecerdasannya,” kata Raja. Dan hanspun diminta untuk ikut ujian. Raja dan Perdana Menteri sendiri yang mengujinya, dan keduanya sangat terkejut dengan kecerdasan Hans. Sebelumnya mereka tak penah berjumpa orang secerdas Hans.
Akhirnya Hans menikah dengan Puteri Nadya, dan ketika Raja mangkat Hans menggantikannya menjadi seorang raja. Ia memerintah dengan asil dan bijaksana, sehingga seluruh rakyat sangat mencintainya.

Minggu, 28 Juni 2009

Pangeran Katak



Pada Zaman Dahulu, hiduplah sepsang suami istri yang saling mencintai. Sayangnya mereka tidak dikaruniai seorang anakpun. Namun, mereka tidak pernah putus asa utk memohon pada sang Dewa agar dikaruniai anak. Hingga pada suatu hari Dewa mengabulkan permintaannya. Istri itu menandung dan beberapa waktu kemudian melahirkan anak. Tetapi alangkah terkejutnya suami istri itu karena yang dilahirkan bukanlah manusia, melainkan seekor katak. Sang suami pun bergegas hendak membuang katak tersebut ke sungai. Namun tiba-tiba katak itu memohon “ Jangan buang aku, rawatlah aku, dan kalian akan kuberi kebahagiaan”.
Suami istri itu menjadi tidak tega dan merawatnya, lagipula Katak ini adalah pemberian Dewata, dan mereka juga sudah menginginkan anak. Akhirnya sang Katak dipelihara dan tumbuh menjadi dewasa.
Ketika dewasa, sang Katak mempunyai keinginan untuk menikah. Kebetulan di kota tersebut ada seorang saudagar yang mempunyai 3 orang putri nan cantik jelita. Maka katak pun menyampaikan maksudnya kebada ibundanya,” Bu, aku ingin menikahi salah seorang putrid saudagar itu. Tolong siapkan bekal yang cukup untukku ya bu.”
Si Ibu pun sangant kaget, karena membayangkan mana ada yang mau menikah dengan seorang katak? Tetapi karena rasa sayangnya pada anaknya, disiapkannya bekal untuk sang Katak.
Sesampainya di rumah saudagar, sang katak segera mengucapkan keinginannya utk menikahi salah satu putrinya. Mendengar itu saudagar itu tertawa terbahak-bahak “Aneh sekali, mana ada yang mau menikah denganmu, Katak?” Tetapi sang Katak meneguhkan niatnya dan berkata “Apapun yang kau minta, akan aku kabulkan sebagai gantinya!” Dengan nada menghina, saudagar itu berkata “Baiklah, kalau begitu bawakan aku uang emas sebanyak 5000 keping dan kau boleh memilih putriku yang kau suka”.
Katak menyerahkan keranjang bekal yang dibawakan oleh ibunya dan membukanya. Ajaibnya, ketika keranjang tersebut dibuka, isinya berubah menjadi 5000 uang emas. Merasa berhutang, saudagar itu kemudian memangggil ketiga putrinya. Si Sulung langsung menolak dengan jijik, demikian juga si putri ke-2 yang berkata “bagaimana mungkin aku bisa dibahagiakan oleh Katak sepertimu?” Saudagar pun lansung menghina “Lihat saja, bukan aku yang menolakmu, tetapi putriku tidak ada yang mau menikah dengan mu.” Saudagar itu lalu bermaksud pergi dengan membawa keranjang berisi uang tadi.
Melihat hal itu, sang Katak pun murka dan bermaksud menyakiti saudagar itu dengan teriakak Katak yang sangat memekakan telinga. Karena tidak tega terhadap penderitaan ayahnya si putri bungsu pun berkata bahwa ia bersedia menjadi istrinya. Katak pun menghentikan teriakannya, “benarkah kau mau menjadi istriku?” Si bungsu menjawab. “ayahku telah berjanji padamu, dan sepatutnyalah aku menikah denganmu.”
Akhirnya katakpun menikah dengan si bungsu. Si bungsu pun menjadi istri yang baik dan patuh kepada suami. Setelah beberapa waktu, terjadi perubahan yang sangat ajaib, sang Katak itu berubah menjadi pemuda yang tampan. Si bungsu pun kaget, lalu katak itu berkata”sebenarnya aku adalah anak raja yang dikutuk oleh dewata karena dosa-dosa raja di masa lalu, aku dilahirkan dalam bentuk seekor katak dan akan berubah menjadi manusia kembali jika ada yang mencintai aku dengan tulus dan sungguh-sungguh.”
Mendengar hal itu, berbahagialah si bungsu dan orang tua sang Katak itu, karena Katak telah menjadi seorang Pangeran yang tampan. Dan menyesal jugalah kedua kakak si bungsu itu karena menolak sang Katak yang ternyata adalah seorang pangeran tampan.

Senin, 08 Juni 2009

Bersandiwara Demi Kebaikan



Bersandiwara Demi Kebaikan
Bobo 6 Februari 1997, cerita Tajikistan

Seorang lelaki miskin bekerja membanting tulang tetapi penghasilannya tetapi penghasilannya tetap kecil. Maklumlah di desa yang juga miskin. Maka terpikir olehnya untuk mengadu nasib di kota. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga, kerabat, dan para tetangga, lelaki miskin itu meninggalkan rumahnya.
Perjalanan yang ditempuh amat panjang. Sampai di kota ia segera mencari pekerjaan. Pintu demi pintu rumah penduduk dimasukinya. Pekerjaan apa saja ia jalani, tak peduli betapa beratnya, dan itu dilakukan dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya.
Kebutuhan lelaki miskin itu tidak banyak. Oleh karena itu ia mampu menabung. Sisa belanja sehari-hari ia simpan dalam sebuah karung kecil. Setiap kali ia memasukkan uang ke dalam tabungan, ia membatin, ”Kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menengok keluargaku di desa.”
Selang beberapa tahun lelaki miskin itu sudah berhasil menyimpan uang seribu tanga. Bagi seorang macam dia, uang sejumlah itu sudah besar sekali. Maka ia mulai merasa khawatir akan keselamatan uang itu.
”Bagaimana jika saat aku pergi bekerja uang itu dicuri orang?” dia membatin. ”Tak mungkin pula aku membawa-bawa uang itu kemana-mana. Justru bisa dirampok orang di jalan. Kalau kukubur, siapa tahu ada orang yang memergokinya, dan diam-diam membongkarnya...”
Meskipun ia sudah memeras otak tetapi ia tak menemukan gagasan. Sampai ia teringat pada Hakim. “Uangku pasti akan aman disimpan di rumah Tuan Hakim,” batin lelaki miskin itu, “sebab bukankah beliau orang paling bijaksana, paling jujur, dan paling bisa dipercaya? Nanti kalau aku hendak pulang baru aku akan memintanya kembali.”
Maka lelaki miskin itu pergi menemui Hakim. Disampaikannya maksudnya menitip uang dirumah hakim. Hakim tidak keberatan. Diterimanya karung berisi uang seribu tanga, kemudian dimasukkannya kedalam sebuah peti besar dan kokoh.
”Dirumah ini uangmu akan aman, Kang,” kata hakim meyakinkan. ”Dan kau boleh mengambilnya kapan saja. Kau tak usah berpikir akan memberiku persen berapa. Lupakan, sebab sudah menjadi kewajiban seorang hakim melindungi dan mengayomi orang-orang miskin seperti Kakang.”
Beberapa waktu telah berlalu. Lelaki miskin itu berniat menengok keluarganya di desa. Dia mendatangi Hakim dan berkata, ”Tuan Hakim, hamba hendak mengambil kembali uang hamba, sebab besok hamba akan pulang kampung.”
Hakim memndang lelaki di hadapannya lama, lalu jawabnya, ”Uang apa sih, yang kau maksud?”
”Uang seribu tanga yang hamba titipkan kepada Paduka, Tuan Hakim.”
”Kau pasti linglung,” tukas Hakim. ”Kapan kau menitip uang padaku? Dan sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin lelaki miskin macam kau bisa memiliki uang sebanyak itu. Seribu tanga, itu bukan jumlah yang kecil.”
Lelaki miskin itu mencobamengingatkan Hakim saat dia menyerahkan uang dalam karung, serta apa yang mereka bicarakan. Tetapi Hakim tidak mau mendengar. Dia berteriak memanggil para punggawa, ”Lelaki ini tukang peras! Ringkus dia. Lemparkan ke jalanan.”
Para punggawa meringkus lelaki miskin, memukulinya, lalu mencammpakkannya ke jalanan. Lelaki miskin itu tergeletak di tanah. Air mata menetes membasahi pipinya. Terdengar suara erangnya yang memilukan, ”Segala jerih payahku lenyap sudah. Uangku amblas.” Ia mengulang-ulang dengan nada sedih. ”Tuan Hakim telah merampasnya dari tanganku...”
Seorang wanita yang kebetulan lewat mendengar ratap tangis ini. Ia menghampiri lelaki miskin itu dan bertanya, ”Apa yang telah terjadi, Kang? Kakang sudah dewasa, mengapa menangis meraung-raung seperti anak kecil?”
Lelaki miskin itu mengisahkan kejadiannya, lalu menambahkan, ”Kata orang, Hakim itu jujur dan bisa menjadi pengayom masyarakat. Tetapi kenapa kenyataannya lain?”
Wanita itu merasa kata-kata lelaki miskin itu bisa dipercaya. Maka ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menolongnya. Dia berpikir keras, mencari akal bagaimana membantu lelaki miskin memperoleh kembali hak miliknya. Nampaknya, sebentar kemudian, ia sudah memperoleh gagasan.
Wanita itu mengajak lelaki miskin ke rumahnya. Di sini wanita itu mengeluarkan sebuah kotak besar. Kepada anak lelakinya ia berkata, ”Aku akan pergi ke rumah Hakim bersama lelaki ini. Kau mengikuti dari belakang. Tetapi jaga jarak agar jangan diketahui orang. Bila kami sampai di rumah Hakim, kau sembunyi dan tunggu. Begitu kau melihat Hakim merentang tangan untuk menerima kotak ini, larilah masuk dan berserulah, ”Ayah sudah pulang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!”
Anak lelakinya mengangguk patuh.
Wanita itu menaruh kotak besar di atas kepala, dan dia bersama lelaki miskin itu melangkahkan kaki ke rumah Hakim. Anak lelaki si wanita mengiluti di belakang dalam jarak agak jauh.
Sampai di depan rumah Hakim, wanita itu berkata kepada lelaki miskin, ”Aku masuk lebih dulu, kau belakangan.”
Wanita itu melangkah memasuki rumah Hakim. Hakim memandangi kotak besar di atas kepalanya, dan bertanya, ”Apa maksud kedatangan kemari, Mak?”
Wanita itu menjawab, ”Barangkali Paduka pernah mendengar nama suami hamba, Tuan Hakim. Hamba adalah istrinya. Suami hamba bernama Rahim, saudagar kaya raya. Saat ini suami hamba sedang memimpin kafilah ke negeri yang jauh, dan hamba tidak tahu kapan akan kembali. Sudah beberapa malam hamba tidak bisa tidur. Banyak orang tak dikenal mengitari rumah setiap malam. Hamba yakin, mereka para penjahat, yang hendak merampok harta kekayaan hamba. Kotak ini berisi seluruh harta kekayaan hamba, termasuk perhiasan emas dan batu mulia. Oh, sungguh berat membawanya sampai kemari. Tapi bagaimanapun, harta karun ini harus disimpan di tempat aman, sampai suami hamba pulang...”
Belum usai kata-katanya, Hakim menukas, ”Jadi kau hendak menitip kotak hartamu di rumahku?”
”Benar, Tuan Hakim,” jawab wanita itu.
Hakim mencoba mengangkat kotak itu. Uh berat sekali. Dia mengira-ira isinya paling tidak 40 atau 50 ribu tanga, belum termasuk perhiasan emas dan batu manikam. Dan rasa-rasanya ia pernah mendengar nama Rahim, si saudagar kaya raya itu.
Hakim bersedia menyimpan kotak harta itu dirumahnya, dan berkata menambahkan, ”Bila kau kelak memintanya kembali, percayalah, tak akan ada satu tangapun yang akan berpindah ke tanganku. Kau boleh mengambilnya utuh-utuh.”
Tapi nampaknya wanita itu menjadi ragu-ragu. Dia mengambil kembali kotah harta itu dari tangan Hakim, dan bertanya, ”Tapi apakah ada jaminan bahwa perkataan Paduka bisa dipercaya?”
Ketika itulah tiba-tiba muncul di hadapan Hakim lelaki miskin. Hakim merasa amat senang, karena dengan begitu ia akan bisa membuktikan kejujurannya kepada istri saudagar itu. ”Aku akan menyerahkan kembali uang seribu tanga titipan lelaki miskin, sebagai gantinya aku akan memperoleh sekotak harta karun melimpah ruah. He, he!” batinnya.
Maka kepada lelaki miskin Hakim berkata, ”Hai, bukankah kau lelaki yang telah menitipkan uang seribu tanga kepadaku beberapa waktu lalu? Tadi pagi kau datang menagih, tapi aku lupa wajahmu, jadi kupikir kau orang jahat dan kutolak. Maaf, atas perlakuanku tadi, dan ini uang titipanmu, satu tangapun tidak ada yang kuambil.”
Solah-olah sudah merasa yakin, wanita itu mengulurkan kotak harta ke tangan Hakim. Hakim mengulurkan tangan untuk menerimnya. Tetapi tangannya belum sempat menyentuhnya ketika seorang anak lelaki berlari masuk, dan berteriak, ”Ibu, lekaslah pulang. Ayah telah datang, bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan. Beliau tak sabar menunggu di rumah.
Oh, jadi suamiku sudah pulang,” cetus wanita itu, dan menarik kembali kotak yang dipegangnya. ”Hamba tak perlu lagi menitipkan kotak harta ini di rumah Paduka, Tuan Hakim. Suami hamba sudah bisa menjaga sendiri miliknya.”
Wanita itu kembali menaruh kotak harta di kepala, dan bergegas meninggalkan rumah hakim, diikuti anak lelakinya dan lelaki miskin.
Kini tinggal hakim terlongong. Tak henti-hentinya ia merenungi nasib. Oh, seandainya kotak harta itu sudah berada di tangannya sebelum Rahim datang... Rasa kecewa Hakim berkepanjangan, sampai kemudia ia tidak bisa melakukan tugasnya, dan dicopot dari kedudukannya dengan tidak hormat.

Jumat, 29 Mei 2009

Pangeran Fang dan Hantu Penasihat Fa Hsien



Pangeran Fang dan Hantu Penasihat Fa Hsien
Bobo 23 Januari 1997, diceritakan kembali oleh Tridaya

Seorang laki-laki muda tampak tergesa-gesa memasuki benteng. Ia langsung menghadap Pangeran Fang.
”Pangeran, Pangeran! Pasukan musuh sudah bersiap-siap untuk menyerang benteng Goliath ini,” ujar laki-laki berpakaian hitam ringkas itu dengan sangat gugup.
Pangeran Fang bingung setelah mendengar penjelasan laki-laki itu. Ia ternyata mata-mata Pangeran Fang. Pangeran segera memerintahkan seorang kurirnya untuk minta bantuan dari istana. Menurut perhitungannya, kekuatan mereka sangat tidak seimbang dengan musuh.
Dua minggu kemudian kurirnya kembali membawa berita menggembirakan. Kaisar berjanji akan segera mengirim bantuan yang akan membawa kemenangan.
Tiga hari setelah kembalinya kurir, bantuan yang dijanjikan datang.
Para penjaga pintu gerbang sempat tidak percaya karena yang datang adalah seorang laki-laki kurus, mengaku utusan kaisar. Hampir semua orang di benteng itu mencemoohkannya. Kecuali Pangeran Fang. Ia yakin kaisar akan menepati janjinya untuk mengirim bantuan yang akan memba kemenangan.
Setelah cukup istirahat, utusan tersebut dipersilakan menemui Pangeran Fang.
”Hormatku, Pangeran! Saya Fa Hsien, utusan kaisar untuk membantu benteng Goliath,” utusan itu memperkenalkan diri sambil menghormat Pangeran Fang.
”Di bidang apa kau akan membantu kami? Karena rupanya bantuannya bukan sejumlah tentara seperti yang kami kira sebelumnya,” balas Pangeran.
”Saya seorang ahli strategi perang,” kata Fa tenang. “Sekarang mari kita bahas rencana selanjutnya.”
Pangeran Fang mempersilakan tamunya masuk ke ruang kerja.
“Pangeran, menurut perkiraan saya, mereka memiliki sekitar sepuluh ribu pasukan berkuda, dan sepuluh ribu pasukan darat. Usul saya, perintahkanlah pasukan berkuda untuk memancing musuh datang ke lembah Ho, disamping sungai besar Yang Tse Kiang. Caranya, kita pura-pura hadang mereka, lalu melarikan diri. Pasukan berkuda akan kesulitan bergerak di lembah Ho, karena lembah itu dipenuhi rumput-rumput kering yang tinggi dan berduri.
Sementara itu, pasukan darat kita sebar di bukit-bukit yang mengelilingi lembah. Sesampainya musuh di lembah Ho, lepaskan sebagian kuda kita kesana, agar mereka mengira pasukan kita masih disana. Kemudian segera bakar lembah itu dengan panah api. Kebetulan sekarang sedang musimnya angin bertiup kencang. Itu akan sangat membantu kita mempercepat api menjalar.
Pasukan musuh yang lolos akan ditangkap pasukan darat di bukit-bukit. Sekalipun mereka lolos dari dua jebakan tadi, mereka masih harus menyeberangi sungai sebagai satu-satunya jalan keluar. Sebelumnya kita bendung dulu bagian sungai di hilir. Ketika mereka menyeberang, kita buka bendungan sehingga mereka akan terseret arus sungai.” Di ruang kerja, Fa Hsien menjelaskan dengan rinci seluruh rencananya.
”Ah, kau ini memang seorang yang cerdik, Fa. Pasukan musuh yang lolos dari api aan menjadi santapan panah atau arus sungai.” Pangeran Fang segera memuji dan menyetujui usul Fa.
Tak lama setelah semua persiapan selesai, datanglah pasukan Jendral Ciang menyerbu dengan kekuatan limapuluh ribu pasukan berkuda. Sesuai dengan rencana, pasukan musuh dipancing ke lembah Ho dan diporak-porandakan disana. Dalam pertempuran ini, Jendral Ciang kehilangan lebih dari separuh pasukannya.
Siang itu di markas Jendral Ciang, tampak ia sedang marah besar dan membentak-bentak para bawahannya.
”Bodoh kau! Memalukan saja. Bagaimana bisa limapuluh ribu pasukan berkuda Ciang, si penakluk Nguyen, dikalahkan tentara Fang keparat itu, yang hanya ada lima belas ribu prajurit.”
Bawahannya yang mimpin penyerbuan tampak sangat ketakutan. Berkali-kali ia meminta maaf dan menyembah-nyembah Jendral Ciang.
”Jendral, menurut saya, dalam beberapa hari ini kita harus hanya bertahan dan berusaha memulihkan segala kerugian akibat perang tempo hari,” Le Phiang, seorang penasihat Jendral mencoba mencari muka.
Tapi, Jendral Ciang segera membentak. ”Bodoh kau! Sekalipun kau bisa bertahan dalam beberapa hari, pasukan itu pasti akan segera datang mengepung kita dan memblokade jalur makanan kita.”
”Justru itu Jendral, sya usulkan pasukan dibagi dua. Jika salah satu diserang, yang lain segera membantu. Dengan begitu pasukan musuh tidak dapat mengepung kita karena terlalu luas. Kalaupun mereka nekat, kita akan dengan mudah menang, karena musuh tersebar kemana-mana danmenjadi lemah. Lagipula hanya ada satu panglima yang handal disana, si Fang itu sendiri.” Le masih terus saja mencari muka Jendral. Kali ini usahanya berhasil.
”Hmm..., cerdik kau. Baik, mulai sekarang kau orang kedua yang berwenang di markas besar ini, setelah aku,” sambut sang Jendral dengan suka cita. ”Tapi ingat, kalau gagal rencanamu, kutebas lehermu,” lanjutnya dingin.
”Baik Jendral, saya sanggup. Terima kasih!” Le Phiang sangat senang karena berhasil mendapat kepercayaan dari atasannya. Ia sangat membutuhkan itu, karena masih baru dalam jajaran panglima-panglima perang Jendral Ciang.
Di saat yang sama, di Benteng Goliath pun terjadi percakapan tentang rencana penyerangan.
”Baik Fa, sekarang apa rencanamu selanjutnya,” suara Pangeran Fang memecah keheningan ruang kerja ketika mereka sudah masuk kedalamnya.e
”Menurut saya, mereka akan memecah pasukannya menjadi dua titik pusat, yaitu benteng markas besar (mabes) dan benteng phialaw di selatan. Mereka berpendapat hal itu akan membuat kita tidak mampu untuk mengepung dan memblokade jalan makanan mereka. Dan mereka benar,” Fa Hsien berhenti sejenak dan mempertimbangkan kembali rencananya.
”Lalu apa rencana kita selanjutnya, Fa?” Pangeran tidak sabar menunggu.
”Saya mempunyai rencana besar, Pangeran. Tetapi kalau gagal akan menghancurkan kita semua. Pertama, kita bagi pasukan menjadi dua pasukan kecil dan satu buah pasukan besar. Pasukan kecil pertama bertugas untuk pura-pura menyerang benteng Phia Law yang lebih lebar dari benteng Mabes. Begitu mendengar berita penyerangan, pasti Mabes akan langsung memberikan bantuan.
Lalu, begitu pasukan di Mabes sedikit dan lemah, itu tugas pasukan kecil kedua untuk mengalahkannya dengan pasukan panah api. Bukankah banyak bagian dari Mabes yang terbuat dari kayu. Setelah bantuan datang, pasukan kecil pertama segera melarikan diri ke daerah Lembah Huang dan segera bersembunyi. Di bukit-bukit sekitar lembah kita sebarkan pasukan panah, dan ketika mereka datang akan menjadi santapan lezat panah pasukan kita dari atas.” Sekali lagi Pangeran Fang menyambut baik usul Fa.
Di saat yang tepat, berbondong-bondonglah pasukan besar di bawah Pangeran Fang menyerbu, dan benarlah semua perhitungan Fa.
Sewaktu pangeran Fang memasuki benteng Mabes, di depan pintu gerbang tergeletak mayat Jendral Ciang yang memilih bunuh diri daripada takluk kepasa Pangeran Fang.
Sebulan setelah kemenangan, datanglah beratus-ratus ribu prajurit istana yang langsung dibawah komando kaisar.
Kaisar tampak heran ketika mendengar bahea Jendral Ciang telah kalah dan lebih terkejut lagi ketika dikatakan itu semua berkat Fa Hsien, utusannya.
”Fa Hsien? Bagaimana kau bisa kenal dia? Tak mungkin ia pernah ke sini, karena ia telah meninggal sepuluh bulan yang lalu.
”Tapi, bukankah kaisar sendiri yang mengutusnya? Dan menjanjikan bantuan kepada kami?” sanggah Pangeran Fang.
”Tidak, aku tidak mengutusnya. Bagaimana mungkin? Bukankah ia telah meninggal. Dan mengenai janji bantuanku, pasukan besar inilah maksudku.” Semua yang hadir di ruangan itu diam terhenyak, dengan pikiran mereka masing-masing memenuhi otak.

Minggu, 24 Mei 2009

Penyesalan si Pemalas


Penyesalan si Pemalas

Dongeng dari negeri Hindustan (diceritakan kembali oleh Henny P.S)

Vijay adalah seorang anak pemalas. Ia tinggal bersama ayah tiri dan ibu kandungnya di rumah yang mungil. Untuk menghidupi keluarga, ayah tiri Vijay bekerja sebagai buruh tani ditanah pertanian yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka. Ayahnya ini bukanlah seorang yang bersifat galak atau keras. Meskipun cuma ayah tiri, ia adalah seorang ayah yang baik. Ia sangat sayang kepasa Vijay. Tetapi Vijay merasa bahwa seorang ayah tiri itu pastilah jahat, tidak pernah sayang kepada anak tirinya. Itu yang ia dengar dari cerita orang-orang. Jika ayah menunjukkan rasa sayang padanya, pasti itu hanya pura-pura, pikirnya.

Suatu hari Vijay diminta ayahnya untuk mencari kayu bakar di hutan. Persediaan kayu bakar dirumah mereka hampir habis. Biasanya memang ayahnya yang selalu melakukan pekerjaan itu, tetapi kali ini ayahnya merasa sangat lelah setelah bekerja cukup lama di tanah pertanian.

Vijay merasa kesal dengan suruhan itu. Ia ingin bebas main kapanpun ia mau. Tidak harus terikat dengan suruhan-suruhan macam begini. Ini pasti karena ayah tak menyukaiku, gumam Vijay dalam hati. Dengan perasaan malas yang amat sangat, Vijay menjauh dari rumahnya untuk bermain di desa sebelah. Ia ingin bebas dari suruhan orang tuanya tadi.

Ayah dan ibunya bingung mencarinya. Mereka berdualah yang akhirnya mencari kayu bakar sambil berusaha pula mencari Vijay. Setelah matahari terbenam, mereka pulang kembali ke rumah dan berharap Vijay sudah ada di rumah. Namun ternyata harapan mereka tak terkabul. Mereka cemas. Tapi tak berapa lama barulah Vijay pulang. Kedua orang tua Vijay tak henti-hentinya bertanya, kemana saja Vijay siang tadi. Vijay cuma bilang, “Main,” kemudian langsung masuk kamar karena kesal dengan pertanyaan-pertanyaan ayah dan ibunya. Ia tidak tahu bahwa ayah dan ibunya sangat mencemaskannya. Di dalam kamar, ditutupnya telinganya kuat-kuat karena tidak mau mendengar nasihat-nasihat ayah dan ibunya.

Keesokan harinya, karena benar-benar malas, ia bangun tidur kesiangan sekali. Sebenarnya ia memang sengaja tidak bangun pagi. Sebab pada pagi hari ibunya sering menyuruhnya membawakan makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah, karena ayahnya tak sempat makan pagi. Kemalasannya makin menjadi-jadi pada saat ibunya memintanya untuk membantu memerah susu sapi, Vijay menolak.

Karena anaknya tidak menurut, ibu amat marah. Vijay kesal jadinya. Tidak biasanya ibunya memarahinya sampai seperti itu. Ia merasa ibunya telah dipengaruhi ayahnya untuk membenci dirinya. Diam-diam, untuk menghindari suruhan orang tuanya, ia mengatur siasat. Pada siang hari ia bersembunyi di sebuah lubang di belakang rumahnya.

”Dengan begini aku bisa bebas dari pekerjaan-pekerjaan yang dilimpahkan kepadaku,” tukasnya dengan wajah yang berseri-seri karena mendapat ide seperti itu.

Setelah makan siang, Vijay mulai melaksanakan rencananya. Ia masuk ke dalam lubang yang dalamnya hampir sama dengan tingi tubuhnya. Agar tak terlihat, ia menimbuni dirinya dengan sampah-sampah. Pada malam harinya, ketika ia merasa lapar, ia keluar dari lubang persembunyiannya itu untuk makan. Ayah dan ibu terus menerus menasihatinya agar tidak bermain jauh-jauh. Ya, memang begitulah dugaan ayah dan ibu Vijay. Mereka tidak tahu kalau Vijay selalu bersembunyi di lubang belakang rumah.

Kelakuan Vijay yang aneh itu berulang dan berulang kembali.

Hingga suatu saat, ketika Vijay sedang bersembunyi di lubang seperti biasa, dari kedua tangannya tumbuh bulu-bulu yang hitam mengkilat. Ia sangat kaget. Ia ingin segera membersihkan sampah yang ditimbunnya diatas lubang. Tetapi, kemudian ia merasa kakinya sudah menekuk, tidak lurus lagi, dan ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Perlahan-lahan keluar sesuatu yang panjang dari bawah punggungnya. Waaah, ekor! Ia kini punya ekor! Vijay ngeri sendiri. Ternyata karena begitu lama dan seringnya ia bersembunyi di dalam tanah dan ditimbuni sampah, sekujur tubuhnya ditimbuni bulu. Rupanya dewa telah mengutuknya menjadi tikus karena kemalasannya. Ia tidak berani keluar dari lubang itu, karena merasa malu.

Ayah dan ibu Vijay bingung karena lama tak melihat Vijay. Mereka mencarinya kesana kemari. Vijay malu sekali dan hanya berani keluar pada malam hari. Setiap malam ia selalu menyaksikan ayah ibunya terus meneruskan mengkhawatirkannya. Vijay baru sadar bahwa mereka itu sangat sayang kepadanya. Namun menyesal kemudian memang tiada berguna, sebab orang tuanya sudah tidak mengenalinya lagi. Jadilah Vijay hidup mengembara kesana kemari.

Setiap hari, sebelum malam tiba, ia selalu bersembunyi dengan membuat lubang di bawah tanah. Hal itu dilakukannya karena takut ditertawakan orang arena tubuhnya sudah berubah menjadi makhluk yang menjijikan. Jika hari sudah gelap barulah ia keluar mencari makan.

Itulah sebabnya sampai kini, tikus-tikus hanya berkeliaran ada malam hari. Sedang pada siang hari mereka bersembunyi di sarang-sarang mereka di bawah tanah.

Kamis, 21 Mei 2009

Dua Putra Saudagar

Dua Putra Saudagar

Bobo 16 Januari 1997, oleh L. Heni S.

Seorang saudagar kaya raya memiliki sepasang putra kembar. Pada suatu hari, saudagar itu bermaksud membuka usaha ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai sebesar sekarang, dua putra kembarnya belum pernah meninggalkan rumah. Saudagar tersebut merasa bersalah bila hanya menunjuk salah satu putranya untuk ke sana. Pasti yang diutus akan merasa dinomorduakan, karena harus merintis usaha dari bawah. Namun iapun tak mungkin mengirim keduanya. Ia sudah tua. Putra yang seorang harus tetap tinggal untuk menggantikannya.

Suatu sore, saudagar memanggil putranya satu persatu. Ketika ditanya apakah mereka bersedia pergi ke tempat yang jauh, keduanya menyatakan kesediaannya.

"Benar-benar menarik, Ayah! Aku suka jika diberi kesempatan itu!" komentar putra yang lahir lebih dulu.

”Aku suka tantangan! Aku gembira menerimanya!” kata putra yang lahir belakangan.

Sekali lagi saudagar merasa tidak enak. Jika semula ia meragukan kesanggupan putra-putranya, sekarang ia kebingungan menentukan pilihannya. Dua-duanya berminat. Rasanya tidak adil bila ia menunjuk salah satu begitu saja.

Selama beberapa hari saudagar sukar tidur dan kehilangan selera makan. Akhirnya ia jatuh sakit. Putra-putranya mengetahui penyebab kegundahan ayah mereka. Masing-masing bersedia mengalah untuk saudaranya. Ini tidak membuat saudagar semakin baik kesehatannya. Masalah belum terpecahkan, dan saudagar masih terbaring lemah.

Beberapa hari kemudian, saudagar mendengar dari seorang pelayan, bahwa dibatas kota tinggal seorang bijak. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Setelah saudagar selesai berkata, orang bijak itu masih diam beberapa saat dengan kening berkerut. Sesudah kerut-kerut menghilang, ia berkata dengan lemah lembut, ”Anda harus sembuh dari sakit. Saya akan menyarankan sesuatu. Kalau bisa diterima, cobalah. Jika tidak, maafkan saya. Hanya ini yang dapat saya sarankan.”

Orang bijak tersebut segera menyampaikan sarannya.

Wajah saudagar yang semula pucat jadi agak berseri mendengar saran itu.

Tiga hari kemudian, saudagar sehat kembali. Tanpa membuang waktu, ia memanggil dua putranya.

“Anak-anaku, Ayah tidak bisa memilik salah seorang dari kalian untuk berusaha ditempat yang baru. Biarlah nasib dan keberuntungan yang membawa kalian kesana. Ayah akan menyediakan dua macam bekal untuk perjalanan kalian. Pilihlah salah satu. Roti, atau beras dan ikan asin,” katanya.

Putra sulung, yang tidak suka berpayah-payah, memilih membawa roti. Sementara itu, putra bungsu memilih beras dan ikan asin.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar kedua putra saudagar meninggalkan rumah. Putra sulung menyandang sebuah tas, penuh dengan roti. Bawaan putra bungsu tak seringkas itu. Ia menyandang tas berisi beras dan ikan asin, sementara kedua tangannya menenteng kompor dan peralatan masak.

Melihat bawaan adiknya, putra sulung tertawa geli. ”Sungguh keliru bekal yang kau pilih. Lihatlah aku. Aku bisa melenggang karena tanganku tak berbeban.”

Putra bungsu diam saja. Ia tak menanggapi perkataan kakaknya.

Tiap kali waktu makan tiba, putra sulung tinggal mengeluarkan roti dari tas, dan memakannya dengan lahap. Tidak demikian dengan putra bungsu. Ia mesti menanak nasii dan menggoreng ikan asin dulu. Pekerjaan sia-sia dan memboroskan tenaga di mata putra sulung.

Dua hari berlalu, persoalanpun muncul. Ketika hendak sarapan, putra sulung mendapatkan rotinya berjamur. Dengan tak sabar ia mengeluarkan roti satu persatu dari tas. Semuanya berjamur. Tak satupun yang masih baik.

Dua putra saudagar tak tahu, masih berapa lama lagi untuk sampai di kota tujuan. Tanpa bekal sama sekali, putra sulung tak bisa melanjutkan perjalanan. Ia memutuskan mencari tumpangan untuk pulang.

Bagaimana dengan putra bungsu? Tak ada masalah baginya. Ia tak asal pilih saat ayah mereka memberikan pilihan. Mereka belum pernah kesana. Namun yang ia tahu pasti, tempatnya jauh. Dengan begitu bisa dipastikan mereka akan lama diperjalanan. Bekal roti memang praktis, tapi tidak awet. Sementara beras dan ikan asin, walau harus diolah dulu, adalah bekal yang tahan lama.

Begitulah dengan beras dan ikan asin, putra bungsu sampai tujuan. Bertahun-tahun kemudia, usaha yang dirintisnya berkembang pesat, tak kalah hebat dengan usaha sang ayah yang kini dikelola kakaknya.